Pada masa penjajahan
Belanda, penyelenggaraan ibadah haji dilakukan untuk menarik hati rakyat
sehingga mengesankan bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak menghalangi umat
Islam melaksanakan ibadah haji meskipun dengan keterbatasan fasilitas. Dimana
pengangkutan haji dilakukan dengan menggunakan kapal dagang yang biasa
digunakan untuk mengangkut barang dagangan ataupun ternak.Faktor yang dominan dalam
masalah perjalanan haji pada masa penjajahan ini, yaitu keamanan di perjalanan
dan fasilitas angkutan jamaah haji masih sangat minim.
Pasca kemerdekaan
Pemerintah Indonesia pada tahun 1948 mengirimkan misi haji ke Makkah.Pada tahun
1949 jumlah jamaah haji yang diberangkatkan mencapai 9.892 orang dan pada tahun
1950 mencapai angka 10.000 orang ditambah 1.843 orang yang berangkat secara
mandiri. Penyelenggaraan ibadah haji pada masa ini dilakukan oleh Penyelenggara
Haji Indonesia (PHI) yang berada di setiap Karesidenan. Dalam perkembangan
selanjutnya, untuk lebih memberikan kekuatan legalitas.
Pada tanggal 21 Januari
1950 Badan Kongres Muslim Indonesia (BKMI) mendirikan sebuah yayasan yang
secara khusus menangani kegiatan penyelenggaraan haji, yaitu Panitia Perbaikan
Perjalanan Haji indoensia (PPHI) yang diketuai oleh KHM Sudjak. sebagai
satu-satunya wadah yang sah, disamping Pemerintah, untuk mengurus dan
menyelenggarakan perjalanan haji Indonesia. Sejak saat inilah dengan
berdasarkan legalitas yang kuat, masalah haji ditangani oleh Pemerintah melalui
Kementerian Agama.
Pada tahun 1952 dibentuk
perusahaan pelayaran PT Pelayaran Muslim yang disetujui oleh Menteri Agama
sebagai satu-satunya perusahaan yang menjadi panitia haji. Besarnya jumlah
masyarakat yang berminat untuk menunaikan ibadah haji, sementara fasilitas yang
tersedia sangat terbatas, Menteri Agama memberlakukan sistem quotum, yaitu
jumlah jatah yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat ke daerah berdasarkan
minat masyarakat untuk menunaikan ibadah haji dari masing-masing daerah dengan
pertimbangan skala prioritas.
Pada masa Orde baru
dilakukan perubahan struktur dan tata organisasi Menteri Urusan Haji dan
mengalihkan tugas penyelenggaraan haji di bawah wewenang Direktur Jenderal
Urusan Haji, Departemen Agama, termasuk mengenai penetapan besaran biaya,
sistem menejerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam
Keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun tersebut,
penetapan biaya perjalanan ibadah haji ditetapkan dalam tiga kategori, yaitu
haji dengan kapal laut, haji berdikari dan haji dengan pesawat udara.
Pada tahun 1976
dilakukan perubahan tata kerja dan struktur organisasi penyelenggaraan ibadah
haji, dimana dilaksanakan oleh Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (BIUH),
Departemen Agama. Dengan mempertimbangkan banyaknya permasalahan perjalanan
haji dengan kapal laut yang tidak dapat diselesaikan. Mulai tahun 1979
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK-72/OT.001/Phb-79 memutuskan
untuk meniadakan pengangkutan jamaah haji dengan kapal laut dan menetapkan
bahwa penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan dengan menggunakan pesawat
udara.
Pada tahun 1981,
keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan haji dihentikan oleh Pemerintah
melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1981 yang mengatur bahwa
penyelenggaraan ibadah haji hanya oleh Pemerintah. Namun demikian, sekitar
tahun 1985,Pemerintah kembali mengikutsertakan pihak swasta dalam
penyelenggaraan ibadah haji dan umroh. Mulai tahun 1991 pemerintah menyempurnakan
peraturan tentang penyelenggaraan haji, yang menuangkan penekanan pada
pemberian sanksi yang jelas kepada swasta yang tidak melaksanakan tugas
sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Sentralisasi kebijakan
dan monopoli sangat mewarnai pernyelenggaraan haji pada fase ini, dimana
menejemen penyelenggaraan haji yang diadopsi berbasis sistem birokrasi
tradisional sebagaimana dilakukan pada masa kolonial Belanda.[2]
Perubahan mulai terasa setelah berakhirnya masa kekuasaan Orde Baru
yang berimbas pada penyelenggaraan haji secara kesekuruhan, khususnya pada
upaya meminimalkan kegiatan KKN. Banyak perubahan yang dicapai pada masa
peralihan dari era Orde Baru hingga masa sekarang berkaitan dengan
penyelenggaraan haji, utamanya menyangkut koordinasi dengan pihak di dalam
maupun di luar negri atau Arab Saudi, khususnya pada pelibatan masyarakat dalam
mendapatkan masukan mengenai masalah perhajian.
Perubahan-perubahan itu telah memacu pemerintah melakukan perubahan
dalam manajemen haji dengan memasukan unsur modern kedalam manajemen birokrasi
haji, seperti penerapan sistem komputerisasi haji-pendaftaran online dan
realtime dan informasi yang telah memanfaatkan media internet. Dengan
demikian alam reformasi yang telah menjamin keterbukaan ini memberikan ruang
lebar bagi usaha peningkatan penyelenggaraan ibadah haji oleh Departemen Agama.
[3]
0 coment�rios: