Makalah & Karya Tulis

Sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami masa yang panjang, dimulai sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, masa penj...

Moderenisasi Manajemen Penyelenggaraan Haji Pada Pemerintah Orde Baru


Sejarah penyelenggaraan haji di Indonesia mengalami masa yang panjang, dimulai sejak masuknya agama Islam ke Indonesia, masa penjajahan, masa orde lama, masa Orde Baru hingga sekarang. Dari masa ke masa penyelenggaraan haji banyak mengalami dinamika yang bermuara pada persoalan pokok, yaitu peraturan yang menyangkut hubungan bilateral antara dua Negara yang memiliki perbedaan sosio-budaya, bentuk pemerintahan dan status kenegaraan, Indonesia yang menganut sistem Republik dan Saudi Arabia yang berbentuk Kerajaan.
Tugas awal penguasa orde baru sebagai pucuk pimpinan Negara pada tahun 1966 adalah membenahi dan menormalkan sistem kenegaraan yang porak-poranda akibat G 30S PKI dan kekuasaan orde lama. Pembenahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pula terhadap penyelenngaraan haji dengan dibentuknya Departemen Agama, selanjutnya mengubah struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji dan mengalihkan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966. Pada tahun itu ditetapkan pula biaya perjalanan ibadah haji dalam tiga kategori, yaitu haji dengan kapal laut sebesar Rp. 27.000, haji berdikari sebesar Rp. 67.500, haji dengan pesawat udara sebesar Rp. 110.000. Jumlah jamaah haji yang diberangkatkan seluruhnya mencapai 15.983 orang, yaitu dengan kapal laut sebanyak 15.610 orang, dengan pesawat udara 373 orang, sedangkan jumlah haji kapal laut yang wafat 114 orang, dan 2 orang jamaah haji udara, atau 0,73%.[1]
Pemerintah ikut bertanggungjawab secara penuh dalam penyelenggaraan ibadah haji, sejak penentuan biaya hingga pelaksanaan serta hubungan antara dua Negara yang mulai dilaksanakan pada tahun 1970.Dengan keputusan tersebut, maka rakyat merasa diperhatikan langsung oleh pemerintah. Dalam rangka mengefisienkan pelaksanaan penyelenggaraan haji, maka pada tahun tersebut biaya perjalanan ibadah haji ditetapkan oleh Presiden berdasarkan kriteria penggunaan transportasi melalui Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 1970, yaitu biaya perjalanan pesawat terbang sebesar Rp. 380.000, sedangkan berdikari sebesar Rp. 336.000. Secara resmi pemerintah tidak menetapkan biaya haji dengan kapal laut karena jumlah calon jamaah haji yang menggunakan kapal laut mengalami penurunan yang signifikan.Sekalipun demikian, pemerintah memberikan kebebasan kepada jamaah haji berdikari tetap menggunakan kapal laut. Sesuai data tahun tersebut jamaah haji berdikari yang menggunakan kapal laut sebanyak 12.845 orang, sedangkan yang menggunakan pesawat terbang sebanyak 1.229 orang. Dalam tahun-tahun berikutnya, antara tahun 1971-1973 penyelenggaraan ibadah haji tidak banyak mengalami perubahan-perubahan kebijakan.
Pada tahun 1974, sebuah peristiwa besar menghentikan sanubari bangsa Indonesia dan mengejutkan dunia ketika pesawat udara Martin Air yang mengangkut jumlah haji mengalami kecelakaan di Colombo.Kecelakaan ini menewaskan 1.126 orang dan merupakan peristiwa besar yang tak terlupakan dalam sejarah perhajian Indonesia. Penyebab kecelakaan  tersebut tidak diketahui secara pasti, yang jelas pesawat tersebut menabrak gunung. Ada pula kejadian yang berada di luar perhitungan pemerintah sebanyak 79 orang jamaah melahirkan. Dengan kejadian tersebut pemerintah semakin selektif, alat transportasi udara yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan haji, dan diharapkan kejadian tersebut tidak terulang kembali. Pada tahun 1974, Keputusan Presiden menetapkan biaya perjalanan ibadah haji berdikari sebesar Rp. 556.000, dan pesawat terbang sebesar Rp. 560.000.Pada waktu itu jumlah ibadah haji berdikari kapal laut sebanyak 15.396 orang dan pesawat udara sebanyak 53.752 orang.[2]
Banyaknya problema perjalanan haji dengan kapal laut yang tidak dapat diselesaikan, termasuk pailitnya PT. Arafat, mulai tahun 1979 pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: SK-72/OT.001/Phb79, memutuskan untuk meniadakan pengangkutan jamaah haji dengan kapal laut dan menetapkan bahwa penyelenggaraan angkutan haji dilaksanakan dengan menggunakan pesawat udara.
Pada awal penghapusan jamaah haji laut, bangsa Indonesia kembali ditimpa kedukaan yang luar biasa akibat terjadinya kecelakaan pesawat udara yang mengangkut jamaah haji untuk kedua kalinya.Kecelakaan ini juga terjadi di Colombo yang disebabkan oleh kesalahan navigasi pesawat Loft Leider.Jamaah haji yang wafat seluruhnya 960 orang, termasuk yang wafat bukan karena kecelakaan ini.Dengan banyaknya pengalaman dalam penyelenggaraan ibadah haji pada tahun-tahun sebelumnya, maka pemerintah, dalam hal ini Menteri Agama, mengkaji ulang penyelenggaraan ibadah haji agar lebih terjamin. Pada tahun 1979, bersama Menteri Kehakiman, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan tentang penyelenggaraan Haji dan Umroh, peraturan ini merupakan cikal bakal dari peraturan penyelenggaraan ibadah haji.Pada saat itu banyak di antara para jamaah haji yang mencari jalan pintas akibat gagal melaksanakan ibadah haji, yakni melaksanakan ibadah umroh lebih dulu kemudian tinggal sementara untuk menunggu waktu haji tiba.Hal ini banyak menimbulkan persoalan bagi pemerintah Arab Saudi.Banyak di antara jamaah haji yang kemudian tidak bisa kembali ke kampung halaman karena kehabisan bekal (biaya).
Dasawarsa 1980-an terjadi perkembangan menarik dimana pemerintah mulai memberi peluang (kembali) swasta dalam penyelenggaraan urusan haji, khususnya untuk pelayanan eksklusif yang dikenal dengan nama program ONH Plus. Pihak swasta sendiri menyebut kegiatan itu merupakan sub-sistem atau bagian dari penyelenggaraan haji oleh pemerintah. Disebut subsistem karena otoritas mengenai ketentuan perusahaan mana saja, kuota, dan harga paket ONH Plus masih di tangan pemerintah hingga kini.Selain melibatkan perusahaan yang bergerak di bidang ONH Plus, pemerintah juga memberi kesempatan kepada berbagai yayasan, majelis ta’lim, ormas, milik masyarakat mengorganisir jamaah haji di lingkungannya. Kegiatan itu tidak lepas dari kontrol pemerintah dan tetap tergabung dalam paket penyelenggaraan urusan haji yang dikelola pemerintah.
Meningkatnya jamaah haji setiap tahunnya dapat dijadikan sebagai parameter peningkatan pembangunan manusia seutuhnya dalam sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan beragama. Besarnya jumlah jamaah haji ini mengakibatkan makin berat pula beban pemerintah karena penyelanggaraan ibadah haji merupakan kegiatan yang terus-menerus rutin, teknis dan fungsional, apalagi meningkatnya taraf hidup dan daya kritis masyarakat akan menimbulkan tuntutan yang makin tinggi terhadap kualitas pelayanan ibadah haji.
Bertambahnya jumlah jamaah haji menimbulkan suatu permasalahan tersendiri karena tempat atau wilayah peribadatan haji di Arab Saudi tetap, yaitu Makkah, Mina, Arafah, Muzdalifah dan Madinah. Wilayah ini juga tidak mungkin akan mampu menampung jumlah jamaah haji yang terus bertambah dari Negara-negara lain. Hal ini jelas akan membebani masing-masing jamaah haji secara fisik, seperti kelelahan, kebisingan, serta kemacetan, dan bahkan kemungkinan besar dapat mengganggu kekhusyukan jamaah haji dalam melaksanakan ibadah hajinya.[3]
Banyak keputusan tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umroh, yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Lepas dari kenyataan bahwa orde baru melakukan sentralisasi kebijakan dan monopoli dalam antara lain transportasi haji, beberapa usaha perbaikan dalam penyelenggaraan haji dilakukan.
Sebagai contoh, dapat dilihat pada evaluasi tahun 1993 yang mencoba untuk mengadopsi sistem manajemen modern dan pengendapan koordinasi anatar lain:
Ø  Penyempurnaan penyelenggaraan haji, baik didalam maupun diluar negeri, dibawah koordinasi Departemen Agama.
Ø  Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar instansi yang terkait dalam pelayanan ibadah haji baik didalam maupun diluar.
Ø  Meningkatkan fungsi dan peran posko haji di Departemen Agama sebagai pusat koordinasi dan pengendalian perhajian.
Ø  Menyusun jaringan kerja penyelenggaraan haji.
Ø  Menyempurnakan pengaturan yang baku pada semua bentuk dan jenis pelayanan ibadah haji.
Upaya peningkatan pembinaan dan bimbingan jamaah haji antara lain sebagai berikut :
Ø  Menyempurnakan pola pembinaan dan bimbingan jamaah haji dengan pengadaan pelatihan calon haji sesuai kebutuhan.
Ø  Meningkatkan keikutsertaan ormas islam terutama Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) dalam pelaksanaan pembinaan dan bimbingan calon jamaah haji.
Ø  Penyempurnaan materi pembinaan dan bimbingan jamaah haji termasuk pendalaman kondisi obyektif Arab Saudi pada musim haji.
Ø  Mengusahakan adanya fatwa MUI tentang ibadah haji sekali seumur hidup serta ibadah umroh di bulan Ramadhan.
Berbekal pengalaman tersebut, pemerintah melakukan kajian ulang pada sistem penyelenggaraan haji secara keseluruhan, baik dari aspek perencanaan, operasional, dan manajerial sumberdaya manusia dan perkembangan teknologi informasi. Salah satu aspek dalam penempatan teknologi informasi adalah sistem komputerisasi yang beroperasi secara on line, walaupun pada saat itu belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai pengelola sebuah divisi sistem informasi.[4]




[1] www.rasio.wordpress.com diakses pada 17 Maret 2014

[2]  Kementrian Agama RI “Haji dari Masa ke Masa”  hal 71-72

[3] Nidjam, Latief dan Hanan, Alatief. Manajemen Haji, Jakarta: Penerbit Mediacita. 2006.
[4] Muhammad M. Basyuni, “ Reformasi Manajemen Haji”  FDK Press 2008, hal 64-66

0 coment�rios: